Surabaya – “Pertama kali masuk kuliah di Unusa, saya merasa khawatir dan risi. Maklum dalam satu kelas saya sendiri yang tidak berhijab,” demikian terlontar ucapan Maria Trykurniati Maju, mahasiswi asal Labuan Bajo, Flores NTT menceritakan pengalamannya dua tahun lalu. Ia mengambil pendidikan S1 Keperawatan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Sebagai non muslim, Maria mengaku awalnya merasa khawatir jika teman-teman di kampus yang mayoritas muslim tidak mau berteman dengannya. Kekhawatiran Maria pun langsung hilang, tatkala teman-teman sangat mendukungnya.
“Bahkan mereka sangat senang dan terbiasa belajar dan diskusi di tempat kos saya. Teman-teman di sini ternyata sangat terbuka dan menyenangkan. Saya merasa sangat diterima di lingkungan yang mayoritas muslim ini,” katanya.
Maria masih tercatat sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Puskemas Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Ia kuliah di Unusa dengan beasiswa dari Pemerintah pusat. Bahkan Maria harus rela meninggalkan dua putranya yang berumur 10 tahun dan 8 tahun untuk menempuh Pendidikan D3 di Malang dan melanjutkan S1 di Unusa.
Perjuangan dan pengorban istri Paulus Jenamon ini tak sia-sia. Maria berhasil menjadi salah satu wisudawati terbaik Unusa yang diwisuda pada 20 April 2019, dengan meraih IPK 3,61. Ia membuat tugas akhir berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir Ekspedisi di Dermaga Ferry ASDP Labuan Bajo NTT.”
“Sebagai tempat pariwisata terbesar kedua setelah Bali, banyak kapal yang berlabuh di pelabuhan Labuan Bajo. Setelah saya amati, ternyata tak hanya kapal wisata, namun banyak juga kapal yang mengangkut truk ekspedisi dari luar daerah seperti dari Surabaya. Kapal-kapal tersebut bisa berlabuh hingga berminggu-minggu di dermaga ferry ASDP Labuan Bajo NTT,” kata Maria.
Dari pengamatannya, di antara para sopir ekspedisi tersebut harus meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama. Kondisi tersebut sangat berpotensi menimbulkan perilaku negatif dan ancaman HIV/AIDS. Terlebih sebagai kawasan wisata banyak sekali panti-panti pijat di sekitarnya.
“Layaknya gunung es, di permukaan kawasan tersebut aman-aman saja. Namun, sebenarnya banyak yang terjangkit HIV/AIDS. Oleh karenanya saya tergerak ikut mencegah semakin tingginya penularan HIV/AIDS di kawasan pelabuhan dan wisata tersebut,” katanya.
Menurut Maria, puskesmas setempat sudah banyak melakukan sosialisasi kesehatan terhadap para pekerja panti pijat. Namun dari sisi pemakai belum pernah dilakukan pencegahannya.
Oleh karenanya, Maria bekerja sama dengan PT ASDP pengelola pelabuhan setempat menyebarkan list quisioner (daftar pertanyaan) kepada 810 sopir. Pertanyaan yang diajukan tentang tingkat pemahaman dan pengetahuan para sopir tentang HIV/AIDS beserta dampaknya.
“Ternyata pengetahuan dan pemahaman mereka masih sangat rendah. Sementara kebutuhan seks tak terhindarkan karena jauh dari istri. Saya fokus pada sopir yang sudah beristri. Karena jika mereka terjangkit akan menularkan pada istri mereka,” katanya.
Maria mengaku cukup lega, setelah menyebarkan banyak pertanyaan, para sopir mengaku menjadi paham bahaya yang akan ditimbulkan dari perilaku negatif. Setidaknya mereka yang semula tidak tahu sama sekali apa itu HIV/AIDS kini mulai memahaminya. Sehingga ke depan bisa melakukan tindakan pencegahan. (hap/Humas Unusa)