Surabaya – Era Revolusi industri 4.0 sering disebut sebagai era disrupsi (disruption) dimana terjadi fenomena masyarakat menggeser aktivitas yang biasa dilakukan di dunia nyata berubah dilakukan melalui dunia maya.
Era industri 4.0 juga identik dengan era digitalisasi dimana kecanggihan teknologi informasi yang terus berkembang secara massive membawa perubahan yang sangat besar pada berbagai sektor khususnya sektor industri.
Kondisi ini bagaikan dua mata pisau, dimana satu sisi membawa ancaman tergerusnya beberapa profesi pekerjaan, namun juga membawa tantangan baru yaitu munculnya beberapa profesi pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah ada atau tidak pernah terpikirkan.
Dosen Program Studi S1 Sistem Informasi Fakultas Teknik (FT) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Paramitha Nerisafitra, M.Kom. mengungkapkan salah satu profesi baru yang muncul di era digitalisasi ini yaitu munculnya Jastip yang merupakan akronim dari Jasa Titip. Kemunculan Jastip diawali dengan kondisi seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengakses suatu produk.
“Kalaupun tersedia di toko online, terkadang calon konsumen merasa ragu mengenai kualitas ataupun kurang puas hanya dengan melihat foto yang dipajang tanpa mengetaui langsung detail produk yang diinginkan. Hal inilah yang “ditangkap” oleh para urban di kota-kota besar untuk melayani jasa titip pembelian suatu produk. Jastip biasanya terjadi untuk beberapa produk yang hanya dijual secara offline di kota besar dengan merek dagang yang sudah terkenal,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya Tower Unusa Lantai 4 Kampus B Jemursari, Kamis (3/1).
Perempuan yang juga sebagai Wakil Dekan FT Unusa menambahkan, secara teknis, pekerjaan Jastip atau personal shopper adalah sebuah pekerjaan keluar masuk mall, toko, atau merchant besar dengan beberapa merek terkenal sesuai dengan keinginan para calon konsumen. Produk jastip tidak hanya produk lokal nasional bahkan merambah ke permintaan produk dari luar negeri.
“Cara kerja pelaku Jastip cukup mudah yaitu cukup memotret dan mengunggah beberapa foto produk di akun media sosial, biasanya Jastip banyak bertebaran di akun media sosial instagram. Kemudian mereka cukup menunggu respon dari calon pembeli yang sudah melihat foto produk dan melayani jika terdapat beberapa pertanyaan seputar produk,” tambahnya.
Paramitha menerangkan, Jika calon pembeli berminat, maka pelaku Jastip akan langsung membelanjakan dan mengirimkan pada pembeli. Tentunya pekerjaan ini tidak hanya sekedar meminta tolong untuk dibelikan suatu produk, namun ada jasa didalamnya yang harus dibayar oleh konsumen.
Adapun tarif Jastip yang ditawarkan beragam mulai dari Rp. 5000 per barang hingga ratusan ribu, bahkan ada pelaku Jastip yang mematok tarif berdasarkan prosentase misalnya 5-15% dari harga barang. Hal ini bergantung pada harga produk dan proses pengemasan barang untuk pengiriman. Selain membayar tarif Jastip, konsumen juga membayar jasa pengiriman melalui distributor yang telah dipilih.
“Nampaknya banyak yang harus dibayarkan, namun hal ini tentu akan jauh lebih hemat dibandingkan konsumen harus menempuh jarak yang jauh dan mengeluarkan biaya transportasi yang lebih besar. Jika sukses memperoleh kepercayaan pelanggan, bisnis Jastip tentunya akan mendatangkan omset yang cukup menggiurkan, terangnya menjelaskan. (rud/humas)