Surabaya – Ravica Ulya Arifin (20), mahasiswi semester 3 Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Unusa (Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya), telah memiliki dua gerai makanan khas Jepang Takoyaki. Kini berbekal ilmu kuliah Kewirausahaan (KWU), dia mengincar pasar premium restoran dan hotel.
“Saya sudah punya dua gerai Takoyaki, di Kutisari dan di depan Korem. Daripada habis kuliah terus pulang, saya memilih pulang kuliah berjualan dan mengembangkan bisnis,” kata Vica, panggilan akrabnya, di Kampus B Unusa, Senin (6/1).
Takoyaki adalah makanan asal daerah Kansai di Jepang, berbentuk bola-bola kecil dengan diameter 3 cm-5 cm yang dibuat dari adonan tepung terigu diisi potongan daging gurita.
Jika aslinya berisi daging gurita, Vica berinovasi membuat Takoyaki dari daging ayam, sosis, keju, salmon, atau kepiting. Tujuannya tentu agar harga jual bisa lebih murah. Dia menjual per kotak berisi 8 butir seharga Rp 10 ribu, rasanya bervariasi.
Guna lebih memperkenalkan produknya di kalangan Unusa, saat Bazar Milenial Speak Up yang digelar BEM FE Unusa, Vica bersama dua rekannya Ahmad Fauzi dan M Nurholis mencoba menjual 500 butir Takoyaki dan ternyata ludes. Mahasiswa maupun dosen banyak yang membeli Takoyakinya.
“Alhamdulillah, uangnya dapat Rp 700 ribu lebih dan keuntungan Rp 300 ribu lebih dalam sehari,” katanya senang.
Penjualan laris manis itu, tentu saja menarik minat teman-temannya. Mereka bahkan berminat bermitra berjualan Takoyaki. Ilmu kewirausahaan yang didapat di Unusa terbukti makin memompa semangat Vika untuk mengembangkan bisnisnya.
Darah Bisnis Orang Tua
Pada dasarnya Vica mewarisi jiwa bisnis kedua orang tuanya, Zainal Arifin dan Mistri. Kini orang tuanya memiliki gerai Takoyaki di Giant Jl Diponegoro. Bisnis Takoyaki mereka mulai tahun 2015, setelah sebelumnya pernah berjualan es oyen dan makanan lainnya. Bahkan saat kecil, Vica melihat bagaimana orang tuanya merintis usaha permainan memancing untuk anak-anak di mall.
Sejak SMA Vica sudah mulai membantu kedua orang tuanya. Bahkan setamat SMA, Vica memilih menganggur setahun untuk belajar berjualan, meski keputusan itu ditentang orang tuanya yang menginginkannya langsung melanjutkan kuliah.
“Saya menganggur setahun itu bukan ikut bisnis orang tua, tapi ikut pengusaha China berjualan es cao karena orang tua keberatan dan menginginkan saya kuliah,” katanya.
Selama lima bulan menjadi karyawan es cao, Vica banyak belajar bagaimana berjualan sekaligus berpromosi. Vika tak malu harus berteriak-teriak mengundang para pengunjung di Pasar Atom agar mampir ke kedai es cao. “Mari silahkan minum,” teriaknya kala itu.
Begitu memasuki tahun ajaran baru, seperti permintaan orang tua, Vica berkuliah di Unusa. Saat itulah, dia mulai mengembangkan bisnis Takoyaki dengan membuka gerai miliknya sendiri di Jalan Kutisari. Vica menjalankan bisnis sepulang kuliah. Dia melakukan promosi dan berjualan. Jika sedang kuliah, dia dibantu adiknya yang baru lulus SMA.
“Saya berjualan sambil menyebar brosur, sambil menerangkan apa itu Takoyaki,” katanya.
Vika tak malu atau sakit hati jika orang yang dia dekati menolak dijelaskan, atau bahkan membuang brosur miliknya.
Berbekal keuletan, bisnisnya di Kutisari mulai memiliki pelanggan. Saat omsetnya membaik, Vica mulai merekrut pegawai untuk membantunya saat dia harus kuliah.
Namun merekrut pegawai ternyata menjadi tantangan tersendiri dalam merinstis sebuah bisnis. Pegawai tersebut bekerja bagus saat didampingi, namun ternyata berubah ketika Vica harus kuliah.
“Saya melihat omset lama-lama menurun. Kenapa? Saat saya mendadak datang ke gerai di sela kuliah, ternyata ketahuan bahwa pegawai saya itu jorok dalam pelayanan. Makanya wajar kalau pelanggan banyak yang hilang,” ujarnya.
Kejadian itu justru dijadikan pelajaran, Vica tak patah semangat meski harus memulai lagi dari awal berjualan sembari berpromosi. Dicarinya pegawai baru dan diubah pola hubungan kerja dengan karyawan. Hasilnya cukup memuaskan.
Setelah gerai di Kutisari makin membaik, Vica kemudian membuka gerai di Korem Surabaya, tepatnya di depan SMK 3. Dia pun harus mulai mengulang berjualan sembari berpromosi. Omsetnya pun mulai tumbuh.
Kunci Vica dalam berbisnis adalah berani mengambil risiko, berani berpromosi dan harus ada inovasi.
“Mulai saja dulu usahanya. Berbisnis harus berani ambil risiko. Risiko dipikir sambil jalan karena sebenarnya itu pembelajaran buat kita. Mulai usaha dari skup kecil untuk belajar. Kemudian harus ada inovasi,” kata Vica yang bercita-cita mengembangkan Takoyakinya masuk bisnis premium dengan menggandeng restoran atau hotel.
Tentang inovasi, Vika sedang membuat resep Takoyaki manis yang terbuat dari adonan tepung manis dan berisi coklat, keju atau selain.
“Takoyai manis belum ada di dunia ini. Takoyaki di Jepang rasanya asin. Kenapa saya membuat Takoyaki manis, karena konsumen wanita cenderung lebih suka rasa manis,” katanya sembari tertawa.
Vica merasa senang karena beberapa teman mahasiswanya di Unusa mulai berminat untuk menjalankan bisnis seperti dirinya. Bahkan ada temannya yang berinisiatif membuka usaha kebab.
“Saya terus motivasi agar dia segera memulai bisnis kebabnya. Harus berani memulai bisnis mumpung masih muda dan punya banyak waktu,” pesannya. (hap/Humas Unusa)