Surabaya – Lima Mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Nahdlatul Ulama Surabaya (FK Unusa) berinisiasi membuat modul deradikalisasi. Inisiasi itu kemudian diikutkan pada Program Kreativitas Mahasiswa Masyarakat (PKMM) dan dinyatakan lolos untuk dibiayai kegiatannya oleh Kemenristekdikti dan ikut dilombakan dalam PKMM.
Kelima mahasisa itu masing-masing Akbar Reza, Hafizh A. Sodali, Dian Dakwatul, Diaz Syafrie dan Athya Ulya. Modul ini merupakan bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) diterapkan untuk anak SMP dengan pendekatan yang humanis dan persuasif.
Dikatakan Diaz Syafrie, ia dan kawan-kawannya berprinsip, dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin. Peribahasa ini paling sesuai bagi kelompoknya didalam mewujudkan modul yang dibuat. Bagaimana tidak, di saat banyak pihak sibuk menyalahkan siapa yang paling bertanggung jawab untuk aksi-aksi terorisme di Nusantara, lima mahasiswa kedokteran ini memilih menyibukkan diri untuk menggagas modul deradikalisasi.
“Mengapa dipilih anak SMP? Setidaknya ada dua alasan. SMP itu usia tanggung, dikatakan anak, ya sudah remaja. Dikatakan remaja, ya masih anak-anak. Kami memulainya dengan penyuluhan lalu bersamaan dengan itu membuat modul. Ini kami laksanakan di UPTD Kampung Anak Negeri Surabaya,” kata Diaz Syafrie.
Menurut Diaz yang juga sebagai ketua PKMM ini, jenjang SMP adalah usia kritis dimana anak lebih menurut kepada orang lain ketimbang orang tuanya sendiri. “Ya, kalau yang di dekatnya itu orang baik, kalau tidak? Bisa-bisa mereka ketularan radikal,” jawab mahasiswa asal Lamongan ini.
Alasan kedua, terkait dengan hormonal. “Di usia ini hormon remaja mulai meningkat, sehingga mereka punya kelebihan energi. Kalau tidak disalurkan kepada hal-hal yang positif, maka berpotensi menjadi negatif, termasuk radikalisme bahkan aksi teror,” kata Diaz.
Koordinator lapangan PKMM, Hafizh A. Sodali menambahkan, modul deradikalisasi ini memiliki tiga aspek, yakni kreativitas, nasionalisme, dan spiritualisme. Terpenting dalam penyuluhan adalah mengasah empati anak-anak. “Empati semacam perekat untuk tiga aspek tadi. Deradikalisasi hanya bisa ditangkal jika empati seseorang sudah terasah sejak muda. Sedangkan tiga aspek itu adalah sarana menyalurkan kelebihan energi anak-anak,” ungkap alumni SMAN Yosowilangun Lumajang ini saat ditemui di Tower Unusa, Kampus B Unusa, Rabu (6/6) siang.
Di tempat terpisah, dosen pembimbing PKMM Dr. dr. Handayani. M.Kes, menyebutkan, modul deradikalisasi ini merupakan jawaban dari kegelisahan bangsa selama ini. Mind set utama warga Nahdliyin adalah rahmatan lil ‘alamiin, sehingga berlarut-larut mencari siapa yang salah justru membuat situasi makin rumit. “Dengan semangat itu pula, kami tidak ingin melawan kekerasan dengan kekerasan. Maka modul ini harus sepersuasif dan sehumanis mungkin,” kata Dekan FK Unusa ini.
Dikatakan Handayani, lolos PKMM hanyalah langkah awal. Dirinya salut karena mereka mengajukan penelitian lebih lanjut. Saya ingin karya lima mahasiswa ini punya sumbangsih besar bagi bangsa. Apalagi deteksi radikalisme yang disusun para mahasiswa ini, jika dikembangkan sangat besar manfaatnya.
Rektor Unusa, Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng. mengapresiasi atas keberhasilan mahasiswa Fakultas Kedokteran Unusa, karena telah membuat konsep deradikalisasi yang dibingkai dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM). Ide tersebut mengantarkan 5 mahasiswa FK Unusa lolos PKMM dikti 2018.
“Kami mengapresiasi mahasiswa yang lolos pada tahun ini. Tantangannya sekarang harus bisa tembus di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) dan kami menargetkan pada ajang ini sebaik mungkin,” ungkapnya.
Jazidie menambahkan, pencapaian tahun ini, telah dipandang lebih baik dibanding 2017 lalu. Kendati demikian, esensi terpenting yang diperoleh mahasiswa dalam ajang ini adalah proses akademik. Mahasiswa diharapkan memperoleh karakter dan soft skill yang bisa dipetik dari proses itu.
“Yang paling penting untuk mahasiswa sebenarnya adalah pengalaman berproses akademik, mulai mereka merancang ide proposal hingga implementasinya. Tidak ada yang instan, semuanya butuh proses, semangat juang, kesabaran dan keuletan,” jelasnya. (Humas Unusa)