“Mengkaji ke-Ekstrim-an Beragama (religious extremism) dalam Perspektif Psikologi dan Sosiologi”
Istilah ‘ke-ekstrim-an beragama (religious extremism) adalah satu dari sekian banyak istilah yang bersifat subyektif dan bisa bermuatan politik. Bahkan, menyajikan kasus religious extremism sebagai berita utama dapat mendongkrak penjualan suatu media, dan karenanya over-reporting dengan tambahan ‘bumbu-bumbu’ sangat tidak mungkin untuk dihindari. Secara harfiah kata religious extremism didefinisikan dalam beberapa kamus berbahasa Inggris sebagai ‘sikap ber-agama yang melewati batas’, atau, ‘merasa keyakinan agama yang dianut yang paling benar (self-righteous)’. Definisi tersebut cukup merepotkan.
Sesungguhnya, meyakini agama pilihan kita sebagai yang paling benar adalah konsekuensi logis dari kebebasan memilih – jika seseorang dibebaskan memilih maka dia pasti memilih yang menurutnya paling baik atau benar – kita tidak bisa memberi kebebasan dan pada saat yang sama melarang meyakini pilihannya sebagai yang paling benar. Sama rumitnya dengan mempersoalkan batas kewajaran sikap beragama. Sejauh mana sikap beragama seseorang dapat dinilai ‘wajar’ atau ‘berlebihan’ merupakan persoalan yang sepenuhnya bergantung pada ‘nilai’ yang dianut, baik si pengamat maupun pelaku. Seorang yang termasuk dalam kategori ‘relijius’ tentu memakai acuan nilai yang berbeda tentang batas kewajaran dengan orang yang dikategorikan ‘sekuler’. Oleh karena itu, penilaian secara obyektif atas batasan ‘wajar’ atau ‘berlebihan’ sikap beragama – demikian juga soal merasa yang paling benar, hampir tidak mungkin bisa dilakukan.
Secara umum, terdapat dua aliran besar dalam ilmu pengetahuan yang mempersoalkan dan mempelajari ‘faktor penentu’ (determinative factors) penyebab munculnya suatu pemikiran pada manusia, yaitu faktor sosial dan individual. Faktor sosial telah diartikulasikan dalam bermacam-macam teori ilmu sosial, khusunya Sociology of Knowledge (sosiologi ilmu) sebagai cabang sosiologi yang mempelajari bagaimana sebuah ide (pemikiran) menjadi bersifat sosial, dibagi, diterima, dan dianut oleh semua anggota suatu kelompok. Sedangkan yang mempelajari faktor individual penyebab munculnya suatu ide adalah ilmu Psikologi, yang mengkaji tentang kepribadian, kecerdasan, dan perilaku genetis serta klinis, dimana penyebab munculnya suatu ide manusia dipandang bersifat psikologis dan bahkan biologis.
Pada akhirnya semua cabang ilmu pengetahuan memang saling terkait– kedua faktor di atas pun, baik sosial maupun individual, bisa saling mempengaruhi. Berangkat dari latar belakang tersebut, kami membatasi kajian ilmiah atas persoalan ke-ekstrim-an beragama di Pusat Pengembangan Masyarakat dan Peradaban Islam (PPMPI) UNUSA ke dalam kerangka ilmu Sosiologi dan Psikologi, dengan melihat urgensi masalah pada konteks kekinian (kontemporer), yaitu dampak Globalisasi dan dampak Urbanisasi.
Pertama, Era Global, yaitu era dimana terjadi pertemuan – hingga percampuran – antar umat manusia dari beragam etnis dan agama – dari berbagai pelosok suatu negeri maupun penjuru dunia yang jauh – terjadi dengan mudah melalui bantuan kemajuan teknologi transportasi dan teknologi informasi-komunikasi. Semakin tinggi kemungkinan pertemuan seseorang dengan penganut agama lain dan bahkan bukan penganut agama apapun (atheist dan unaffiliated), semakin menjadi penting batasan kewajaran sikap beragama bagi orang tersebut untuk dapat menentukan sikap yang akan diambil dalam berinteraksi dengan mereka demi pemenuhan kebutuhan hidupnya dan keberfungsian dirinya di tengah masyarakat yang plural itu.
Beberapa studi telah dilakukan tentang ‘psikologi globalisasi’ menunjukkan bahwa globalisasi politik dan ekonomi yang diiringi pula dengan hegemoni ‘budaya global’ – dalam level yang berbeda-beda antara negara maju dan berkembang, dan antara penduduk asli dan imigran – telah menimbulkan keadaan mental yang disebut identity confusion (kebingungan identitas), existential anxiety (kegelisahan eksistensial), dan ontological insecurity (kegamangan ontologis). Dalam situasi mental tersebut, agama dan nasionalisme (termasuk ‘etno-nasionalisme’ atau ke-suku-an) menjadi tempat berlindung yang memberi rasa aman. Perlu diperhatikan perbedaan antara keduanya. Yang satu (agama) menarik ke arah luar, yaitu, lintas-suku, lintas bangsa, lintas teritori, dan mengusung ke-global-an; sedangkan yang satu lagi menarik ke arah dalam, yaitu, kebangsaan, kesukuan, dan ke-lokal-an. Menariknya, dua fenomena antagonistik tersebut ditimbulkan oleh penyebab yang sama.
Kedua, Urbanisasi. Gelombang urbanisasi telah mengubah desa-desa di seluruh dunia menjadi kota, atau mendorong perpindahan orang dalam jumlah besar dari desa ke kota. Sebagai akibatnya, tercatat sejak tahun 2014 (laporan PBB) mayoritas penduduk dunia (lebih dari 50%) tinggal di kota. Konsekuensi psikologis dan sosial perubahan ini sangat besar – – orang tidak lagi hidup di komunitas kecil yang guyub dan akrab dan diikat oleh jalinan kekerabatan primordial. Sebagai gantinya – terutama di kota-kota besar dan negara maju – orang hidup hanya dengan nucleus family dan jaringan pertemanan yang rapuh di tengah masyarakat yang konsumtif dan kapitalistik. Dalam level yang berbeda-beda antara negara maju dan berkembang, fenomena sosial yang ditimbulkan oleh urbanisasi dan sistem perekonomian yang menggerakkannya adalah: social distress, ke-tercerabut-an, kemiskinan, ketimpangan, serta homelessness.
Problem sosial tersebut memperberat beban psikologis masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Dalam perspektif Terror Management Theory (TMT), pertahanan psikologis (psychological defense) yang paling ampuh untuk menghadapi berbagai macam teror psikologis yang bersifat eksistensial, yaitu, keadaan yang membuat seseorang harus menjawab pertanyaan eksistensial yang muncul dalam dirinya sendiri, seperti, ‘siapakah diri saya?’, ‘mengapa saya berada di dunia?’, ‘untuk apa saya harus menghadapi semua kesulitan ini?’, lagi-lagi adalah ‘budaya’ — dalam hal ini termasuk agama dan kesukuan sebagaimana pada point sebelumnya.
Dari dua point di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dari sudut pandang ilmu psikologi dan sosiologi, agama menawarkan solusi pada penganutnya dalam menghadapi tantangan hidup di zaman ini. Oleh karena itu, konflik dan kekerasan atas nama agama yang semakin meningkat di era ini merupakan persoalan kompleks yang tidak bisa ‘dipaksa’ menjadi masalah ke-agama-an atau persoalan teologis semata. Kajian ‘Psikologi dan Sosiologi ke-ekstrim-an Beragama’ UNUSA dibuat dalam rangka memperluas wawasan akan persoalan agama dan masyarakat, serta memberi kontribusi pada usaha peningkatan kesejahteraan psikologis (mental) dan sosial masyarakat Indonesia dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih damai. Kajian ini dibuat melalui serangkaian diksusi dengan para pakar psikologi dan sosiologi dari berbagai perguruan tinggi Indonesia, setiap minggu ke-2 sejak Desember 2017 hingga Agustus 2018. Topik kajian Psikologi meliputi: anxiety (termasuk existential anxiety dan obsessive compulsive disorder – OCD), cognitive dissonance, depresi, giftedness, dan psikologi komunitas. Topik kajian Sosiologi meliputi: teori identitas, teori social movement, dan teori komunitas. (PPMI – UNUSA)