Usia 3- 5 tahun disebut sebagai periode golden age dimana pada masa ini sel syaraf mengalami konstruksi maksimal, sehingga periode ini sangat baik untuk memaksimalkan perkembangan anak. Namun kondisi saat ini, stimulasi perkembangan anak mengalami degadrasi, sehingga beresiko mengalami development delay.
Elly Dwi Masita, SST., MPH., Dosen Prodi Profesi Bidan FKK Unusa mengungkapkan dvelopment delay terjadi pada keseluruhan aspek perkembangan mulai motorik, intelektual, emosional, psikoseksual, dan sosial. Aspek perkembangan sosial emosional menjadi salah satu aspek yang memiliki high risk development delay bahkan terjatuh pada fase kritis.
“Keluhan sering pusing, mudah capek, malas bergerak merupakan gejala awal terjadinya krisis emosional dan sosial,” ungkap dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK) Unusa ini.
Elly menambahkan, gejala ini juga disertai perubahan perilaku emosional seperti impulsif, mudah marah, membentak, menangis dan berteriak apabila meminta sesuatu. terkadang reaksi ini menjadi agresif seperti memukul teman dan membanting benda disekitrnya. “Anak cenderung pendiam, terkadang apatis atau tidak peduli pada lingkungan sekitar menjadi gejala awal munculnya gangguan perilaku sosial,” tambahnya.
Dosen Prodi Profesi Bidan ini menjelaskan gejala lain yang sering muncul diantaranya adalah dominasi respon verbal anak menjadi respon non verbal seperti mengaggukan kepala, menggelengkan kepala sebagai jawaban “Ya atau tidak”, meminta sesuatu dengan menunjuk saja, tidak memandang mata lawan bicara saat berdialog dan cenderung menundukkan kepala, cemas terhadap orang baru dan menurunnya kepedulian sosial lainya seperti tidak menyapa guru saat bertemu.
“Apabila gejala ini tidak teratasi dengan baik dan tepat, maka beresiko terjadinya juvenile delinquency atau kenakalan remaja yang berujung pada peningkatan kriminalitas remaja. Maka kondisi ini dikategorikan sebagai total personality delay,” jelasnya.
Elly menambahkan, perkembangan psikoseksual anak usia 3-5 tahun seharusnya memiliki ruang yang sama dengan aspek perkembangan lainya. Pada kenyataanya, perkembangan ini menjadi terpinggirkan dari sekian instrument perkembangan anak serta kuatnya stereotip negatif pada perkembangan ini. Sebagian besar orang tua melabelkan perkembangan psikoseksual sebagai ranah tabu dan terlalu dini apabila dikomunikasikan pada anak saat usia 3- 5 tahun.
“Hal ini berdampak kurangnya minat orang tua untuk mempelajari perkembangan ini. Selain itu, instrument deteksi penyimpangan perkembangan psikoseksual pada anak tidak sebanyak instrument perkembangan lainnya. Mengapa demikian? Karena aspek perkembangan psikoseksual dianggap sebagai ranah perkembangan yang tidak berdampak langsung pada pencapaian community well being,” tambahnya.
Dirinya melanjutkan, Usia 3-5 tahun perkembangan psikoseksual memasuki fase phalik dengan ditandai anak sering memainkan alat kelaminnya sendiri, pada anak perempuan memiliki kecemburuan pada jenis kelamin ayah (Penis envy), demikian anak laki- laki memiliki kecemburuan pada kelamin ibu (Masculine Protest). Anak perempuan cenderung menyayangi ayahnya ( Elektra complex) dan anak lelaki cenderung kepada ibunya (Oedipus Complex) serta kecemasan anak karena takut alat kelaminnya mengalami kerusakan misalnya pada anak laki- laki takut dikhitan.
“Kegagalan dalam fase ini berakibat pada pembentukan self efficacy (percaya diri) pada alat kelaminnya sehingga memicu munculnya gejala gender dysphoria dimana anak tidak menerima identitas gender yang dimiliki berdasarkan biologi gender (kromosom dan endokrin) maupun sosial gender (identitas laki atau perempuan) dan pada perkembangan berikutnya muncul keinginan untuk merubah identitas gender menjadi lesbian, gay, biseksual dan transgender,” pungkasnya. (lis/sar humas)